Rabu, 10 September 2008

Usaha Rotan Tak Ada Rotan Pelepah Pisang Pun Jadi

Usaha Rotan Tak Ada Rotan Pelepah Pisang Pun Jadi.
Kurangnya pasokan rotan tak membuat HSHD patah semangat. Produsen furniture itu kini beralih dengan bahan baku alami lainnya, seperti pelepah pisang, mendong, ilalalng dan sebagainya. Dikombinasikan dengan desain nan apik, produk furniture tersebut tetap laku di pasar mancanegara. Rian S.

Tak ada kesibukan yang berarti di pabrik furniture rotan milik HSHD Furnicraft Indonesia. Yang tampak hanya berbagai produk furniture setengah jadi yang siap ekspor. Di ruang pamer di pabrik yang terletak di Kawasan Jatiwangi atau tepatnya di Jl Raya Gintung Lor no 99 by pass Arjawinagun tersebut, terdapat berbagai item produk furniture mulai dari kursi, sofa, almari buku yang semuanya terbuat dari kayu atau rotan. “Beberapa barang telah kami ekspor dan kami tengah menunggu order berikutnya,” ujar Suhermanto, sang pemilik yang akrab dipanggil Andy.


HSHD adalah salah satu produsen rotan olahan di Cirebon. Perusahaan ini adalah satu dari 600 perusahaan sejenis yang memproduksi furniture baik dari kayu maupun rotan. Produk ini telah diekspor ke berbgai negara di dunia seperti : Timur Tengah, Jerman, Amerika Serikat (AS), Inggris hingga Norwegia. Maka tidak heran bila Cirebon dikenal sebagai salah satu penghasil produk olahan rotan terbaik di dunia. Produknya telah mengglobal. Ekspornya bisa mencapai 3000 kontainer per bulannya, sebelum keluar Peraturan Menteri Perdagangan (Permenperdag) No 12/2005, yang isinya antara lain membolehkan ekspor rotan asalan (belum diolah).

HSHD adalah perusahaan keluarga yang dikelola secara turun temurun, seperti umumnya perusahaan furniture di Cirebon. Perusahaan itu kini dikelola oleh generasi ketiga, yakni Suhermanto dan adik-adiknya. Kakeknya adalah pedagang rotan. Ayahnyakemudian menlajutkannya dengan mendirikan perusahaan furniture secara kecil-kecilan. Lalu pada 1990-an, dengan modal Rp50 juta, HSHD dikembangkan dengan manajemen moderen sebagai produsen furniture berorientasi ekspor. Maklum, Andy adalah alumnus Universitas Padjadjaran Bandung, yang paham tentang manajemen perusahaan.

Selain membeli mesin produksi, HSHD mengembangkan berbagai jenis produk. Dari puluhan item produk furniture, kini telah berkembang menjadi ratusan. “Saya sendiri tidak ingat sudah berapa item produk yang kami buat,” ujarnya. Semua itu adalah hasil karya anak negri, terutama desainer furniture Cirebon. Selain itu, HSHD juga menerima produk-produk by order. Salah satu yang order adalah Toko buah yang terkenal di AS, Tutty Frutty. Perusahaan ini beberapa item keranjang rotan yang dipakai untuk menaruh buah-buahan segar yang dijual di pasar swalayan di negara tersebut.

Perusahaan lainnya, adalah Conforama, salah satu perusahaan ritel Perancis terbesar yang khusus menjual produk-produk rumah tangga (home appliances). Conforama adalah perusahaan ritel kedua terbesar di dunia dan memiliki beberapa cabang di berbagai negara, termasuk di Asia. Perusahaan ini memesan beberapa item produk furniture dari HSHD dengan persyaratan yang sangat ketat. Mulai dari bahan baku, teknis pengerjaan, peralatan hingga pengemasan diawasi benar-benar. “Mereka kerap mengirim ahli quality controlnya untuk mengawasi produk-produk yang dipasan. Dan, kami bisa memenuhi permintaan mereka,” jelas Andy.

Andy mengaku, pemasaran yang dilakukan masih secara konvensional. Promosi langsung, mengikuti eksibisi baik di luar maupun dalam negeri. Beberapa waktu lalu dia menggunakan electronic mail (e-mail) untuk korespondensi dan melayani permintaan pembeli asing. Selain itu, dia juga mengajak partner lain yang memiliki akses di mancanegara yang luas. HSHD merekrut Sigit Dwiharto, mantan karyawan di salah satu supermarket di Washington DC untuk menangani penjualan di luar negeri. Hasilnya, ternyata cukup efektif. Pembeli yang dulu hanya terkonsentrasi di negara-negara tertentu, kini bertambah, salah satunya dari Norwegia.

Sayang, ditengah-tengah promosi gencar dan mencari peluang baru, HSHD terlilit kendala yakni kurangnya pasokan bahan baku, terutama rotan. Kalau toh ada, tambah Andy, kualitasnya tidak sebagus seperti semula dan harganya mahal karena harus membeli lewat tengkulak. Sebagai gambaran, harga rotan ekspor atau di mancanegara US$ 0,68 per kilogram. Sementara harga dalam negeri Rp 8000-an per kilogramnya.

HSHD maupun perajin furniture di Cirebon, kini tidak bisa membeli langsung dari produsen rotan di Sulawesi. Banyak petani rotan lebih senang menjual langsung, karena adanya kebijakan pemerintah lewat Departemen Perdagangan yang mengijinkan ekspor langsung rotan asalan (belum diolah).

Akibatnya, kini banyak produsen furniture yang kekurangan bahan baku dan satu per satu mulai berguguran—lihat boks. Jika sebelumnya di Cirebon terdapat sekitar 600 perusahaan, kini tinggal sepertiganya. Selain itu, akibat harga yang tinggi maka, daya saing produk rotan Cirebon turun. Sebagai gambaran, kompetitor Cirebon adalah China. Harga per satuan kursi rotan yang ditawarkan China adalah US$ 6,075. Sementara produk Cirebon US$ 10. “Padahal, Indonesia adalah salah satu produsen rotan terbesar di dunia,” ujarnya Andy.

Lantaran dihantam berbagai persoalan tersebut, ekspor furniture rotan anjlok. Bila dulu di Cirebon saja, sebanyak 2000 – 3000 kontainer bisa diekspor, kini tinggal sepertiganya saja. Banyak karyawan yang di PHK dan beberapa perajin yang pintar kini banyak bekerja di Malaysia sebagai tenaga supervisor produk furnitur. “Khusus rotan kami sekarang hanya mengekspor 10 kontainer per bulannya,” tambahnya. Sayang, dia enggan menyebut berapa omset yang diperoleh per bulannya.

Toh, ini tidak menjadi kendala bagi HSHD untuk terus maju. Perusahaan menggunakan bahan subtitusi pengganti rotan. Yakni, plastik, enceng gondok, ilalang (rumput liar), mendong, pelepah pisang. Bahan-bahan alami itu dipadukan dengan furniture kayu dan menghasilkan produk nan apik. Banyak pembeli yang tertarik dengan bahan kombinasi dan alami tersebut. Dan, untungnya, banyak konsumen yang tertarik dengan penggunaan bahan alami tersebut. “Kami banyak melayani permintaan dari Jerman, Malaysia dan Inggris,” tutur Andy.

Andy kini tengah mensosialisasikan penggunaaan bahan alami untuk produk furniture. Beberapa pengusaha di Cirebon tampaknya tertarik dan mulai bergairah lagi. Dibanding rotan, bahan-bahan tersebut memang kalah kuat. Untuk itu, Andy kini tengah mencari formula yang tepat, agar produk-produk tersebut tahan lama.

Dua tahun sudah, sejak digulirkannya peraturan Menteri Perdagangan No 12/2005, awan kelabu terus menaungi para pebisnis UKM furniture, khususnya rotan. Pertentangan di dalam negeri antara eksportir rotan dan produsen furniture terasa makin tajam. Di satu pihak kesulitan bahan baku, namun disisi lain meminta keran ekspor diperlonggar.

Jeda ekspor yang dicanangkan pemerintah beberapa waktu lalu, yakni memberikan waktu enama bulan untuk ekspor dan selebihnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tak berjalan mulus. Pihak Asmindo (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia) mensinyalir tidak semua ekspor bahan baku rotan itu lewat jalur resmi. Banyak produk rotan asalan yang masuk ke produsen furniture rotan seperti : Malaysia, China dan Vietnam.

Sebelum jeda ekspor dilakukan, pemerintah telah membatasi kuota ekspor dan menetapkan pungutan ekspor antara 15persen-20 persen untuk semua jenis rotan. Tapi, mekanisme tersebut tidak jalan. Masih banyak sekali produk rotan asalan yang keluar. Akibatnya, industri rotan olahan dalam negeri terpuruk, sementara negara-negara yang tidak memiliki bahan baku rotan justru menikmati hasilnya. Saat ini menurut Andy, banyak kompetitor yang perlahan-lahan menggerogoti pasar dan merebut pembeli furniture Indonesia.

Padahal, industri furniture masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Industri furniture yang berbasis rotan memiliki daya saing yang tinggi. Kreativitas dan produk yang dihasilkan mampu menarik minat pembeli dari mancanegara. Pada Pameran Produk Eskpor (PPE) yang berlangsung pada akhir Oktober lalu, produk furniture mencatat transaksi besar, mengalahkan produk pertanian, perikanan, palstik, garmen, pakaian jadi, perkakas, mesin dan sebagainya. Produk furniture mencatat nilai transaksi US$32,4 juta dari total transaksi US$62,7 juta.

Dampak yang lebih terasa, ialah banyaknya karyawan yang di PHK, terutama di sentra-sentra produsen furniture rotan. “Ada yang menjadi Bandar narkoba dan kegiatan criminal lainnya. Yang beruntung bisa bekerja di Malaysia,” Ujar Andy. Sayang, memang keahlian mereka kini dimanfaatkan oleh negara competitor. Untuk menjaga kelangsungan usaha rotan, “Sebaiknya revisi aturan itu. Biar kami juga bisa tumbuh bersama-sama,” tambahnya.

Sepatu anti air di musim hujan
Meraup uang jutaan dari laundry bulanan
Usaha barang seken layak direken
Beternak merpati balap omsetnya mantap
Tours and travel terus menggurita
Buka usaha pusat kecantikan
Info harga motorjakarta
KKB BCA BCA instant

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...