Rabu, 10 September 2008

Miniatur Berbahan Clay Harganya Aduhai

Memanfaatkan bahan baku clay--semacam tanah liat—Yeny membuat berbagai kerajinan miniatur cantik. Wiyono

Nilai produk seni seringkali tidak dihitung dari besar angka rupiah bahan material saat pembuatannya, namun lebih banyak ditentukan oleh kaca mata estetika yang sulit terukur secara nominal. Sebuah lukisan bikinan mahasiswa seni lukis yang masih taraf belajar boleh jadi tidak akan laku sampai ratusan ribu, sebaliknya karya seniman yang sudah profesional akan ditawar hingga ratusan juta rupiah.

Ilustrasi di atas sejatinya bukan untuk menonjolkan karya seni yang memiliki nilai jual ‘irasional’ yang biasanya hanya dimiliki pada karya seni murni. Sebab diakui, agak berlebihan apabila karya seni di atas disejajarkan dengan produk kerajinan yang ketika proses pembuatannya masih memperhitungkan prinsip-prinsip ekonomi. Akan tetapi tetap terasa wajar memasukkan nilai estetik sebagai salah satu faktor harga dalam produk seni kerajinan tangan yang jelas-jelas membutuhkan keahlian, ketrampilan, ketelitian, dan rasa estetis pada saat pengerjaannya. Sama halnya dengan produk miniatur berbahan clay. Sebagai produk handmade, di pasaran kerajinan ini memiliki kisaran harga mulai dari lima ribu hingga mencapai jutaan rupiah. “Harga jual juga ditentukan oleh besaran, detil, dan tingkat kerumitan,” ungkap Yeny, pemilik Hanycraft.

Yeny mengenal kerajinan berbahan sejenis tanah liat ini sejak 2003. Dari semula sebatas hobi, ternyata banyak saudara dan teman-temannya tertarik melihat hasilnya. Kemudian berawal dari melayani pesanan kerabat dekat itulah, setahun kemudian ia mencoba merintis bisnis pembuatan barang miniatur khusus dengan bahan clay secara lebih serius. “Saat itu masih jarang tempat yang menjual hasil kerajinan, dan terutama yang memberikan kursus cara pembuatan dan kreasi menggunakan clay ini,” tuturnya.

Kecuali menjual produk dan bahan kerajinan clay maupun aneka jenis kerajinan keramik mini, wanita 29 tahun tersebut sekaligus juga megadakan kursus pembuatan clay di rumahnya, di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat. Kursus yang diajarkan dibagi dalam dua kelas, yaitu kelas pembuatan makanan dan kelas pembuatan bunga dengan lama masing-masing kelas sekitar 5 jam.

Sedangkan nama Hanycraft itu sendiri, seperti dijelaskan, dikarenakan bisnis tersebut dijalankan bersama suaminya, Harry. “Pertama, merupakan kepanjangan dari nama suami saya (Harry) dan nama saya sendiri yaitu Yeny. Dan karena berhubungan dengan craft maka kami menggunakan nama Hanycraft. Alasan kedua, kata hany kalau dibaca sama dengan kata ‘honey’ yang berarti ‘sayang’. Artinya craft yang kami hasilkan tersebut bisa diberikan kepada orang yang disayangi,” ungkapnya.

Produk miniatur yang telah dihasilkan Yeny cukup banyak macamnya, antara lain ada yang berbentuk seperti makanan, misalnya kue, sushi, bakery, nasi tumpeng, steak, set breakfast, buah-buahan, tart, es krim, serta isi dari gerobak dorong makanan lengkap. Selain itu juga terdapat beraneka bunga-bungaan seperti mawar dan berbagai jenis-jenis anggrek, mulai anggrek bulan, dendrobium, anggrek kantong, vanda, cattleya, maupun ponne, di samping tulip, lily, teratai, lotus, gerbera, bunga matahari dan lainnya. Sedangkan kreasi miniatur berbentuk binatang, di antaranya kolam ikan koi, pigsty, gajah, kelinci, ayam, dan sebagainya.

Sampai saat ini produksi secara kontinyu, terutama dilakukan dengan mencoba menghasilkan kreasi-kreasi baru. Sementara itu, dengan dibantu dua orang karyawan ia juga menerima pesanan khusus dari pelanggan. Misalnya mengerjakan pesanan pembuatan sushi untuk dijadikan hiasan kalung dan bando. Tetapi, tidak jarang sebagian order juga diberikan kepada para mantan peserta kursus dengan sistem bagi hasil. “Kami juga bekerja sama dengan pengrajin dari luar khususnya untuk keramik-keramik kecil seperti aneka piring, mangkok, cangkir, tea set, dan binatang,” imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakan, sampai saat ini usaha bermodal awal sekitar Rp 20 juta itu perkembangannya cukup menjanjikan. Meskipun diakui, masih terdapat tantangan yang dihadapi, seperti misalnya bahan clay masih impor ,sehingga sangat terpengaruh oleh nilai kurs rupiah. Walaupun pernah mencoba menggunakan clay lokal, namun menurutnya hasilnya tidaklah maksimal dan kurang memuaskan.

Saat ini, dikatakan, pembeli meliputi area Jawa, Sumatera dan Kalimantan, dan bahkan ia pernah juga mendapatkan pesanan dari Singapura dan Australia. “Kapasitas produksi tidak tetap. Namun rata-rata mencapai ratusan buah tergantung ukuran dan tingkat kesulitan dari pembuatannya,” ucapnya. Sayang ia enggan menyebut nominal omsetnya.

Disebutkan, sistem pemasaran yang ditempuh bisnis suami-istri ini dibagi dua cara, sistem penjualan langsung dan sistem reseller. Sistem yang pertama biasanya berupa pesanan khusus dari para langganan. Untuk itu telah disediakan situs penjualan lengkap dengan daftar harga barang berikut dengan gambar produk, dan pemesanan bisa dilakukan melalui email, pesan pendek (SMS) atau pun telpon.

Sedangkan sistem yang kedua adalah penjualan melalui bisnis partner. Yeny mengatakan, peluang kerja sama selalu ditawarkan, dan terbuka dengan pihak manapun dengan prinsip kemitraan yang saling menguntungkan. Misalnya, sebagai contoh apabila terdapat kreasi baru yang dibuat atas pesanan rekanan bisnis, maka untuk selanjutnya kreasi tersebut akan menjadi semacam ‘paten’ dari bisnis partner yang bersangkutan. “Apabila ada permintaan dari pelanggan atau customer, maka kami akan meminta mereka menghubungi bisnis partner kami itu secara langsung. Sehingga nantinya transaksi penjualan terjadi antara customer dengan bisnis partner kami,” jelas Yeny yang kini tengah mempersiapkan rencana pengembangan usaha, salah satunya dengan melakukan ekspansi, bekerja-sama dengan sebuah boutique di Cikarang, Jawa Barat.

Hobby motor mendulang uang
Bisnis terarium untung 300 persen
Usaha larva bawal
Usaha barang seken layak direken

Source : majalahpengusaha.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...