Menjaga ikatan pribadi dan emosional dengan konsumen merupakan strategi Amadeus untuk tetap bertahan dan berkembang di tengah sengitnya persaingan. Wiyono
Terdapat sebuah hadits nabi yang bermakna, barang siapa ingin lapang rejekinya dan panjang umurnya hendaklah menyambung tali silaturahmi. Menariknya, terdapat sebuah bisnis studio foto khusus bayi dan anak bertahan kurang-lebih dengan konsep hampir sama. Untuk berfoto di tempat ini biasanya tidak bisa dilakukan instan. Artinya, sebelum datang mesti ada janji terlebih dahulu. Sebab apabila tidak, apalagi memiliki waktu terbatas sudah pasti tidak dilayani.
“Sebab bagaimana saya bisa ngobrol kalau sedikit-sedikit lihat jam,” ucap Nathal Ajie, pemiliknya. “Selama lima tahun yang dijalankan Amadeus seperti itu. Sebab saya punya keyakinan bisnis ini akan langgeng kalau dengan costumer terjalin ikatan secara pribadi atau emosional. Kalau hubungannya pertemanan maka ibaratnya memiliki tabungan. Bukan seperti di mall, sekali transaksi selesai sudah habis,” tuturnya melanjutkan.
Bisnis studio foto, khususnya studio foto bayi dan anak-anak sejak sekitar lima tahun lalu sempat booming. Salah satu pionirnya, Amadeus yang terletak di bilangan Tebet Dalam, Jakarta Selatan masih tetap eksis hingga saat ini. Foto studio anak asal dikemas dengan bisnis beneran bisa memiliki prospek bagus, kata Nathal. Namun ia tidak menampik fakta, beberapa studio foto lain yang mengikuti bisnis Amadeus ternyata malah tidak bisa bertahan lama.
“Kalau kita omong foto anak, bisnis studio anak pasti menarik. Masalahnya bagaimana caranya agar bertahan. Banyak yang berhenti karena sifatnya hanya sekadar bisnis musiman. Bisnis ini bukan kebutuhan primer. Bila foto-foto yang dibuat hanya untuk kebutuhan fun, bukannya sejarah, maka ketika mulai jenuh, lalu ada studio foto lain yang lebih bagus, otomatis konsumen akan berpindah,” tukas Nathal.
Maka mantan penabuh drum yang sempat pula mendirikan sekolah musik ini sedikit membuka kartu bahwa sejak didirikan 2003 Amadeus mempunyai konsep menjadikan foto yang bersifat kebutuhan alias bisa dianggap sebagai pencatat sejarah. “Saya tidak mau bikin foto instan yang kelihatan bagus, tetapi sekali dua kali lihat orang langsung bosan,” tandasnya.
Kurang lebih setahun setelah buka, foto studio yang memiliki target pasar khusus ini sudah menarik perhatian masyarakat, baik dari kalangan orang biasa, artis, bahkan pejabat. Foto-foto bayi dan anak-anak dengan kostum lucu-lucu seperti buah, telur besar, dan macam-macam mulai dikenal dan digemari. Seiring waktu pula, para produsen produk anak dan bayi, termasuk rumah-rumah sakit juga mulai melirik untuk kerja sama atau order pembuatan iklan. Demikian pula dalam lomba foto anak tingkat nasional, Nathal Ajie selalu ambil bagian dalam penjurian serta aksesoris.
Sesuai sifat pasar, begitu mencium peluang akhirnya banyak pula foto studio lain mulai ikut-ikutan. Dan bisa ditebak bisnis ini boleh dibilang menjamur di mana-mana hingga ke mall-mall, malah dijual dengan paket murah. “Lama-lama kok jadi kampungan,” pikir Nathal waktu itu.
Di samping itu, sesuatu hal terasa mengganjal bagi bapak tiga putra ini yaitu munculnya fenomena eksploitasi terhadap anak yang terkait dengan fotografi sudah sedemikian berkembang. Aneka perlombaan fotografi anak dengan iming-iming hadiah serta popularitas sebagai bintang iklan cilik menyebabkan munculnya komunitas pemburu hadiah. Ia mensinyalir terdapat sejumlah balita yang sampai diikutkan lebih dari sepuluh agensi. Hal yang sangat ia sayangkan, demi memenuhi ambisi orang dewasa sehingga setiap hari anak dijejali jadwal casting foto, dengan diberi kostum macam-macam, tanpa memperhatikan tumbuh kembang anak secara lebih sehat.
Akhirnya setelah dua tahun menjalankan bisnis PT Amadeus Pilar Harmony studio foto bayi dan anak, bersama istrinya, Fanda, Nathal terfikir untuk tidak semata-mata mengikuti arus pasar yang dirasa kurang sehat. Apa yang mereka bangun seolah-olah akhirnya ditentang sendiri.
Nathal Ajie berprinsip seorang fotografer layaknya seniman lukis yang melukis dengan memanfaatkan cahaya. Ia tidak mungkin melakukan pekerjaan yang dianggap karya seni secara asal jadi. Sekadar informasi, tarif studio foto kelas menengah ke atas seperti Amadeus tidak bisa dianggap murah seperti studio foto kebanyakan. Harga cetak bisa mencapai antara puluhan ribu hingga jutaan rupiah.
Sehingga orang hanya mau foto anak setelah merasa puas melihat hasilnya yang bagus. Seterusnya, seiring pertumbuhan anak semakin membesar, konsumen tidak kapok datang secara rutin. Berjalan selama lima tahun, diakuinya, sebanyak 60% yang datang adalah konsumen lama. Demikianlah, meskipun tetap menjalankan bisnis menurut perhitungan komersiil tetapi pria berkacamata tebal ini tetap melakukan berdasarkan konsep serta karakter yang ia miliki sendiri, dan bukan karya pesanan.
“Saya juga masih fanatik dengan film hitam putih, saya garap dengan gaya dan pendalaman karakter saya,” ungkapnya. Pendiriannya tentang bisnis dan seni harus berjalan beriringan menyebabkan ia tidak takut dianggap menentang aturan fotografi yang dipahami masyarakat umum. Seperti misalnya, tidak jarang obyek foto yang diambil dibuat kecil, kurang dari 2/3 bidang foto atau distorsi pada hasil foto ia biarkan begitu saja karena dianggap lebih natural.
Sementara itu, terhadap konsumen yang datang Nathal juga tidak menganggap mereka itu sebagai orang lain yang minta dilayani semata-mata. Sebaliknya mereka diperlakukan selayaknya tamu yang datang ke rumahnya. Setiap kali sebelum sesi pemotretan ia akan banyak berbicara bersama kostumer demi menggali informasi mengenai obyek yang akan difoto tersebut. Sebab menurutnya konsumen boleh membawa konsep dan menyampaikan apa keinginannya, tetapi pada akhirnya foto yang akan diambil tetap yang menggambarkan anak ini seperti ia lihat apa adanya.
Usaha BatikUsaha Kecantikan
Tours and travel terus menggurita
Franchise fee back guarantee
Jual kue untuk yang berduit
Source : majalahpengusaha.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar