Selama ini orang hanya mengenal bebek bakar dan bebek goreng. Tetapi dengan kreativitas Nasi Bebek Tunjungan, konsumen kini bisa menikmati pepes bebek atau bebek karamel
Russanti Lubis
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Jakarta khususnya, diserbu oleh restoran cepat saji bermenukan ayam goreng. Bahkan, beberapa tahun sebelumnya, rumah makan yang menyediakan ayam goreng dengan bumbu tradisional, telah merambah Kota Metropolitan itu. Hal ini menggelitik Rouf Estianda, penggemar berat makanan bermenukan bebek, untuk membuka restoran yang branding-nya secepat ayam, tapi tentu saja bukan ayam atau lele.
“Kalau saya memilih ayam atau lele, pasti akan kalah dengan berbagai resto yang menyajikan menu ayam, khususnya. Saya pasti akan kemakan merek mereka. Akhirnya saya memilih bebek, dengan pertimbangan banyak orang yang suka bebek, tapi resto bebek yang enak dan branding-nya sekuat ayam masih jarang ditemui. Bebek biasanya alot dan amis. Dengan pertimbangan itulah, saya menciptakan bebek yang seempuk, seenak, dan se-familiar ayam dengan membuka Nasi Bebek Tunjungan (NBT) pada Desember 2006,” katanya.
Di sisi lain, ia juga ingin menggeser pengertian bahwa rumah makan bebek hanya menyediakan bebek goreng dan bebek bakar, mentok-mentoknya bebek balado. Padahal, saat ini, seiring dengan makin banyaknya resto bebek, makin banyak pula menu bebek yang disajikan, seperti pepes bebek atau bebek karamel. “Kami ingin menekankan bahwa inilah restoran bebek di mana para penggemar bebek dapat menikmati macam-macam masakan berbahan dasar bebek, seperti Bebek Ginseng yang khas Korea, Kebuli Bebek yang berbau Timur Tengah, atau Bebek Cobek yang bernuansa Sunda. Intinya, meski cuma digoreng, tapi bebek kami disajikan dengan rasa yang berbeda-beda,” ujar Direktur Utama NBT ini.
Pada awalnya, NBT yang dibangun dengan modal Rp500 ribu hingga Rp700 ribu dan gerobak pinjaman, tidak cukup mudah untuk bisa berdiri tegak di tengah masyarakat yang ayam goreng minded, meski saat itu juga belum banyak yang bergerak di usaha bebek goreng. “Dengan tiga ekor bebek atau sekitar 15 hingga 18 porsi (normalnya 12 porsi, red.) hanya laku 10 porsi/hari dengan harga Rp6 ribu/porsi,” katanya. Tapi, sekitar dua atau tiga bulan kemudian, terjadi peningkatan menjadi 10 hingga 20 bebek. Hal ini, mendorong seseorang untuk mengajak kerja sama dengan membuka restoran. Maret 2007, warung di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, ini pun dipindahkan ke kawasan Tebet, Jakarta Selatan, dalam bentuk rumah makan, dengan modal Rp60 juta. “Sekarang kami memiliki empat cabang dan total menyembelih 200 sampai 300 bebek per hari,” lanjut Rouf yang menggunakan bebek Biang dari Purworejo, Jawa Tengah, dan berumur setengah tua, dengan alasan meski kecil tubuhnya tapi tebal dagingnya ini.
Perkembangan yang cukup pesat ini, terjadi berkat dukungan marketing dan promosi yang gencar. Seminggu sekali NBT menyebarkan brosur. Di samping itu, juga menjalin hubungan baik dengan media dan selalu melakukan perbaikan. “Setelah tutup buku, setiap akhir bulan, kami melakukan evaluasi baik dari masakan maupun sumber daya manusia (SDM). Hampir setiap bulan, kami mengeluarkan menu baru, seperti Agustus lalu kami memperkenalkan Bebek Bakar Bumbu Rujak dan Es Beras Kencur. Sedangkan, di bulan ramadhan ini, kami menyediakan paket katering ramadhan dan takjil (makan bersama di bulan puasa, red.) gratis. Untuk SDM-nya, seminggu sekali kami melakukan update dan upgrade,” ucapnya.
NBT juga ditata dengan konsep laiknya restoran cepat saji yaitu dengan memenuhi pesanan konsumen hanya dalam waktu tiga hingga lima menit. Hal ini, dilakukan mengingat pelanggan utamanya adalah para karyawan kantor di Tebet dan sekitarnya. “Pada umumnya, mereka bukan orang-orang yang sabar menanti, karena keterbatasan waktu makan mereka,” jelasnya. Tapi, dalam perkembangannya, NBT juga menjadi home resto. Sebab, pelanggan yang tinggal di kawasan yang cukup jauh dari NBT pun ikut nimbrung, meski hanya di akhir pekan. Tak pelak, omset pun meningkat dari Rp60 ribu/hari menjadi antara Rp85 juta sampai Rp90 juta per bulan untuk setiap outlet.
Kini, resto bebek telah tumbuh bak cendawan di musim hujan dan semuanya tidak pernah sepi pembeli. Otomatis, hal ini menimbulkan persaingan yang sangat ketat. Agar tak tergilas, NBT ― yang juga menyediakan sambal-sambal khusus sebagai padu padan menu bebek yang ada, seperti Sambal Pencit (sambal mangga muda) untuk Bebek Bakar, Sambal Dadak (sambal yang langsung diulek di tempat, red.) untuk Bebek Goreng, Sambal Tomat untuk Bebek Cobek, Sambal (cabai) Hijau untuk Bebek Hijau, dan sambal biasa untuk Bebek Ginseng ― menggenjot para marketer-nya agar bekerja lebih keras, memberi berbagai paket diskon, dan menjalankan personal marketing sehingga setiap pelanggan dikenal baik oleh karyawan NBT. Untuk pesan antar, NBT yang harga per porsinya Rp11.500,- sampai Rp18.000,- untuk makanan dan Rp5.000,- hingga Rp10.000,- untuk minumannya, tidak membebankan ongkos di mana pun pemesan berada. “Kami hanya membebankan minimum order sebesar Rp30 ribu sampai Rp100 ribu,” katanya.
Selain itu, Rouf juga menambah ilmu dari buku-buku marketing. “Di buku-buku itu, dikatakan bahwa salah satu cara untuk memenangkan persaingan yaitu dengan selalu menciptakan menu baru,” ujarnya. Sedangkan untuk memperluas pemasaran, NBT yang menjadi langganan tetap para karyawan di DPR, BPSI, Polda Metro, Electrolux, Mabes Polri, dan BCA ini, akan membuka cabang yang kelima serta merambah Bekasi, Depok, Sumatera Utara, dan Yogyakarta baik dalam bentuk kerja sama bagi hasil maupun waralaba, pada tahun 2008. Melihat kondisi ini, unggas yang oleh sebagian anggota masyarakat kita masih dianggap sebagai sumber makanan yang amis, alot, dan menjijikan ini, ternyata sangat prospektif dari segi bisnis. Rouf dan Nasi Bebek Tunjungannya telah membuktikan hal itu. Tidakkah Anda ingin berbisnis di ladang yang sama?
Sepatu anti air di musim hujan
Meraup uang jutaan dari laundry bulanan
Usaha barang seken layak direken
Tip bisnis usaha go public
Usahan salon khusus kuku
Source : majalahpengusaha.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar