Terjun ke dunia garmen memang tidak gampang. Banyak “cobaan” di dalamnya. Berbekal pengalaman inilah Ilham bisa menemukan celah di safetywear. Wiyono
Jeli terhadap peluang. Khususnya pemain yang baru mencoba suatu bisnis yang sudah lama eksis, kalimat tadi adalah salah satu pegangan kalau tidak ingin berhenti di tengah jalan. Tidak disangkal, bisnis konveksi sudah ada semenjak manusia mulai kenal cara berpakaian. Dan pebisnis baru di bidang ini mesti pandai-pandai dalam memainkan jurusnya. Lebih-lebih kini di tengah persaingan global, gejolak ekonomi-politik setempat dan juga perubahan kurs mata uang acap ikut-ikutan menjadi faktor penentu jatuh-bangunnya sebuah usaha.
Pengalaman pahit pernah dialami Ilham Mansis saat ikut masuk di bisnis garmen sebelum akhirnya ia mencicipi manisnya hasil seperti yang diterima sekarang. Awalnya pengacara muda yang masih aktif ini mulai kenal dengan bisnis ini tahun 2000 lalu. Itu terjadi setelah salah seorang rekannya memperkenalkan seorang buyer dari Inggris yang sedang mencari produk-produk garmen di dalam negeri. Sampai akhirnya di antara mereka terjalin kerja sama, Ilham mencarikan stok barang-barang untuk diekspor.
Selama kurang-lebih dua tahun usaha tersebut cukup menggembirakan. Melalui bendera usahanya, Rasta Communication, pada waktu itu telah banyak pembeli lain berdatangan. Pria pecinta musik aliran kontemporer ini berlaku sebagai penyedia barang, yakni semua jenis produk konveksi over product dari pabrik, baik jaket, celana jeans, pakaian musim panas, dan sweater, mulai dari pakaian anak-anak sampai dewasa. Barang-barang sisa kelebihan produksi dari berbagai daerah tersebut seterusnya dilempar ke pasar luar negeri, di antaranya negara-negara di Eropa Barat, Eropa Timur, maupun Timur Tengah.
Masalah mulai timbul setelah berbenturan dengan kondisi politik dan ekonomi yang terjadi di dalam negeri. Sejalan dengan sistem otonomi daerah, masing-masing wilayah berlomba menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan memunculkan bentuk-bentuk pungutan baru. Secara langsung hal itu berdampak kepada para pelaku stok barang seperti Ilham karena otomatis menggerus keuntungan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM yang menyebabkan kenaikan biaya-biaya operasional, atau pun perubahan kurs mata uang asing, sebab transaksi dilakukan dalam mata uang dolar. Buyer yang datang menjadi berkurang karena harga jual kini menjadi lebih tinggi.
Dan ternyata bukan hanya itu saja, pernah pada suatu saat ia terlanjur menyanggupi permintaan pengiriman barang tetapi nyaris tidak terpenuhi. Ketika itu, ungkap Ilham, kontrak jual-beli berikut tenggat waktu pengadaan barang sudah disepakati. Celakanya pihak pabrik kemudian menyatakan barang tersebut tidak bisa keluar. Namun ada hikmahnya pula, karena untuk menepati perjanjian Ilham terpaksa mencari jalan keluar dengan cara memproduksi barang sendiri. “Saya bisa produksi sendiri karena dibohongi pabrik,” tukasnya seakan melampiaskan kekesalan. “Kebetulan pas ada pabrik nganggur, tidak ada order, akhirnya mau bekerja sama,” tuturnya.
Seolah merasa kepalang basah, bapak seorang putri yang kini berusia empat tahun itu berlanjut dengan menginvestasikan belasan mesin jahit dan merekrut karyawan sendiri. Sejak saat itulah ia mulai mencari pesanan dan berproduksi. Belum bisa dibilang banyak, barang yang diproduksi mulai dari tas, topi, seragam sekolah, kaos, dan lain-lain, khususnya sekadar mengerjakan pesanan lokal. Tetapi apa mau dikata, sebuah pil pahit kembali terpaksa harus ditelan. Saat itu ada sebuah pesanan dengan nilai nominal lumayan tidak dibayar, padahal barang sudah terlanjur digarap jadi.
Belajar dari berbagai pengalaman di atas, selanjutnya kelahiran Jakarta 1972 itu mulai menoleh celah pasar produk-produk safetywear. Ia sadar, hampir semua konveksi pasti larinya menggarap baju-baju uniform, kaos, dan sejenisnya. Maka di samping banyak persaingan, pemain senior biasanya sudah dipercaya oleh toko-toko pemasok bahan sehingga biaya produksi mereka lebih murah.
Jalan mulai terbuka ketika secara kebetulan salah seorang rekannya memperoleh order pembuatan safetywear dalam jumlah besar dan mengalihkan sebagian dari pesanan itu. Kini, sudah hampir setahun lulusan Fakultas Hukum Trisakti ini khusus menggarap produk pakaian perlindungan dan keselamatan, seperti rompi, wearpack baju-baju teknik, jaket pelampung, baju pelindung anti api, anti radiasi bahan kimia, dan sebagainya, dengan mengusung merek 909.
“Saya mulai memburu order dari internet,” ujar Ilham yang mengaku lebih memilih pemasaran berbasis online yang mampu menjangkau pasar lebih luas. Sejauh ini pemesan lokal mulai dari terentang dari Aceh, Batam, hingga Papua. Ada pula beberapa pembeli luar negeri, seperti misalnya dari Malaysia, Libya, dan beberapa negara lainnya. Sebanyak 90% pesanan adalah dari internet, permintaan repeat order tiap bulan dilakukan lewat email atau per telepon. Mereka umumnya pengusaha trading, permintaan langsung dari perusahaan dan ada pula dari instansi, seperti rumah sakit, perusahaan air minum.
“Produksi cukup lancar, teman yang semula membantu saya tetapi sekarang malah saya bantu,” ucap Ilham mengungkapkan kegembiraannya. Mengutip pengakuan ara pembelinya, mereka acap kesulitan mencari perusahaan konveksi yang mau menerima pesanan produk pakaian perlindungan. “Di samping itu, yang saya suka, apabila garmen biasa, setiap bulan muncul model baru mengikuti perubahan mode, tergantung musim, trend dan sebagainya. Safetywear tidak, dari dulu sampai sekarang tetap seperti itu. Paling-paling dikombinasi dengan ventilator. Coverall umpamanya, tinggal dilihat tujuannya untuk apa, buat di lapangan atau indoor, tinggal disesuaikan model dan bahannya,” tukasnya mengimbuhkan.
Kini selain tetap akan memproduksi safetywear, ia pun melirik trading produk pendukung, helm, kaca mata, sepatu boot, sarung tangan kulit, masker, dan sebagainya, sebagai bisnis tambahan. Malah saat ini beberapa di antaran produk-produk itu sudah mulai dia pasarkan.
Sementara untuk bisnis utamanya tersebut, sekarang ini ia membawahi 17 orang penjahit yang bekerja borongan. Kapasitas produksi, dikatakan, tergantung jenis desain produk dan tingkat kesulitannya. Sebagai gambaran, produk yang yang paling gampang dalam sehari masing-masing bisa membuat 100 potong, atau lebih. Tetapi model yang rumit bisa jadi per orang hanya mampu membuat 5 lembar. Besarnya omset juga bervariasi sesuai order, berkisar Rp 50 juta-Rp 700 juta. “Kebutuhan peralatan safety tidak selalu ada, namun yang rutin biasanya rompi,” akunya. Yang pasti sekarang rejekinya tetap mengalir berkat produk-produk safetywear.
Source : majalahpengusaha.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar