Ketika daya beli masyarakat melemah, barang-barang impor kehilangan pesonanya. Kondisi ini menjadi mengilhami Victoria memproduksi alat bantu medis lokal
* Fisamawati
Biasanya, setiap konsumen cenderung menyukai produk impor, karena dinilai cukup menguntungkan. Meskipun harga produk impor lebih mahal namun untuk kualitas produk tak perlu dipertanyakan lagi. Begitu pula dengan pebisnis, produk impor pun bisa mendongkrak kepercayaan konsumen terhadap kualitas sehingga akan lebih mudah untuk menjual produk tersebut..
Ternyata, tidak semua konsumen dan pebisnis bisa menerima produk impor, adanya faktor keuangan yang relatif minim memicu menurunnya minat konsumen terhadap produk lokal. Didasari hal tersebut, pelaku bisnis pun mempertimbangkan daya beli konsumen terhadap produk yang akan dipasarkannya. Dilihat dari kaca mata pebisnis, ekonomi yang melemah berdampak menurunnya minat beli konsumen, termasuk produk impor tentunya, sehingga dalam hitungan bisnis tidak menguntungkan.
Victoria Silalahi, pemilik Tambak Prothese dan Orthose, salah satunya. Ia memilih untuk konsentrasi mengembangkan alat bantu medis lokal daripada impor. Alasannya, produk lokal mempunyai karaktersitik harga lebih murah dari barang impor yang dilihat dari harga jangkau konsumen itu sendiri.
Perempuan ini masuk ke bisnis alat bantu medis dilatarbelakangi karena sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta, waktu itu. Setamat sekolah di jurusan Fisioterapi Rumah Sakit Glugur Medan, Sumatera Utara, ia melamar pekerjaan di Jakarta dan diterima bekerja di sebuah fisioterapi di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Selama empat tahun bekerja di tempat yang menyediakan alat-alat bantu bagi penderita catat tubuh, baik akibat kecelakaan atau cacat lahir, ia banyak belajar, mengenal pasien dan beberapa dokter. Merasa telah mendapat pengalaman maka mulailah ia membuka bisnis alat bantu medis pada tahun 2000. Kebetulan saat itu salah seorang dokter mengajak dirinya untuk membuka usaha bersama yakni penyediaan alat bantu bagi orang cacat.
“Yang dimaksud dengan Prothese adalah alat bantu seperti kaki palsu, tangan palsu, jari palsu, dan gigi palsu. Sedangkan Orthose adalah alat bantu pendukung berupa lumbal, corset, ortho shoes afo, hand splint, knee decker, dan soft collar. Ditambah penyediaan Mobility Aids berupa kursi roda, tongkat, canadian walker, commode, kursi roda anak yang sifatnya ada jika ada permintaan. Selain menyediakan beragam jenis alat bantu seperti kaki dan tangan palsu, tempat ini juga merupakan workshop (tempat pembuatan kaki dan tangan palsu tersebut, red) dan tempat pelatihan berjalan bagi pasien,” jelasnya.
Ditegaskan Ria- sapaan akrab Victoria, usaha Prothese dan Orthose ini bukan rumah sakit atau klinik namun sebagai mitra rumah sakit atau penyedia alat bantu. Mitra tersebut diantaranya adalah RS Medistra, RS Cikini, RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Dharmais, RS Harapan Bunda dan RS PMI. Alat bantu medis tersebut ia tawarkan ke beberapa dokter rehab yang dikenalnya secara personal, dokter bedah orthopedic, dokter neologi serta dokter anak.
Ditambahkan, dalam tingkat persaingan bisnis penyedia alat bantu medis sangat ketat. “Karena kompetitor bisnis ini adalah para pengusaha yang memiliki keterkaitan langsung dengan pemilik rumah sakit. Skala pemasokan dan pemasaran barang sudah antar perusahaan. Sedangkan saya memasarkan lewat kedekatan, baik dengan dokter maupun pasien yang bersangkutan,” katanya yang pernah mendapat ancaman dari kompetitornya karena persaingan harga.
Namun, usaha ini juga membawa Ria terlibat dalam Program Peduli Kasih Indosiar sejak 2001. Keterlibatannya dalam program sosial tersebut berawal saat salah seorang karyawan Ria yang menyandang cacat bawaan lahir. Mereka memiliki perkumpulan sesama penyandang cacat yang butuh kaki palsu. Kebetulan istri salah seorang penyandang cacat itu karyawan Indosiar. “Dari situlah saya mendapat pesanan dari Peduli Kasih untuk membuatkan kaki palsu hingga sekarang,” ungkap pembuat ratusan penyedia alat bantu ini.
Berlokasi di kawasan Manggarai, Jakarta Pusat, Ria melibatkan 4 orang karyawan diberi tugas untuk mengerjakan kaki dan tangan palsu, di mana semua pengerjaan tersebut dilakukan dengan cara manual. Alasan pembuatan produk secara manual tak lain untuk kenyamanan dari si pasien tersebut. Umumnya pasien yang memesan produknya memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sama seperti halnya sidik jari setiap individu berbeda bahkan untuk mirip pun tak mungkin. Dengan pemikiran itu, maka untuk produk buatannya pun tak bisa dibuat secara massal. “Biasanya yang membutuhkan kaki atau tangan palsu memesan terlebih dulu baru akan dibuatkan, menurut bentuk dan ukuran,”ujarnya.
Selain itu, ia pun memproduksi alat bantu medis tersebut menjadi tiga kategori yakni murni lokal, campuran lokal-impor, dan murni impor. “Untuk kategori lokal, bahan baku didapat dari Glodok, Senen, Tanah Abang. Sedangkan untuk campuran lokal-impor, biasanya ada permintaan dari pasien atau keluarganya, bagian mana saja yang ingin menggunakan bahan dasar lokal dan impor, ini sifatnya modifikasi. Sedangkan untuk impor, bahan dasar didatangkan langsung dari luar negeri- misalnya Jerman,” paparnya yang memenuhi permintaan hingga ke Medan dan Padang.
Untuk pembuatan kaki palsu, diungkapkan Ria, memerlukan waktu yang cukup lama. “Lamanya waktu pengerjaan untuk satu buah kaki palsu atau tangan palsu, bisa menghabiskan waktu sampai tiga minggu. Sedangkan bahan utama yang dipakai adalah terbuat dari fiber dan aluminum, paku dan palu,” papar anak ketiga dari 6 bersaudara ini. Ditambahkan Ria, selain bahan yang disebutkan tadi, ia pun memakai bahan dari plastic propylene, khususnya untuk Chair Back yang akrab disebut alat untuk support pada kelainan tulang belakang sebagian atau daerah perut.
“Pembuatan Chair Back memang paling berisiko. Karena sifatnya berbahan plastic propyline tersebut bisa memberikan tingkat kegagalan total. Biasanya kegagalan itu terjadi saat proses oven, jika pada proses oven gagal maka Chair Back tidak bisa dipakai, itu artinya harus membuat dari awal lagi dan memakai bahan baru pula,” katanya seraya memberikan contoh pengerjaan Chair Back yang dipasang seharga Rp 1.200.000,- ini.
Begitu pula dengan tangan palsu yang kisaran harganya Rp 5 juta hingga Rp 7 juta dan kaki palsu seharga Rp 4 juta. Meskipun mengacu pada ukuran kaki normal, namun dalam pengerjaanya pun tak serta merta leluasa. Kembali pada sifatnya sebagai alat bantu medis, maka alat yang dibuat pun harus memenuhi syarat dan ketentuan dari pihak medis. “Semua harus sesuai dengan resume dokter, setelah alat selesai pun harus ada koreksi dari dokter lagi untuk lanjut ke tahap pemakaian,” akunya yang mengklaim produk buatannya mampu bertahan hingga 2 tahun kedepan, meski digunakan secara aktif.
Source : majalahpengusaha.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar