Tas dengan foto, tokoh kartun atau binatang dan sejenisnya sudah lumrah di pasaran. Tetapi Zulasmi, membuat tas dengan foto diri pemiliknya, sehingga terkesan ekseklusif
Russanti Lubis
Para pelaku bisnis cenderung mengidap pola pikir statis. Dalam arti, ketika produk yang dibisniskannya makin lama makin laku, maka mereka akan terus berkutat di produk tersebut. Padahal, waktu terus berjalan. Seiring dengan itu, terjadi banyak perubahan hingga produk tersebut tidak dimaui lagi oleh konsumen-konsumennya. Jika tidak segera banting kemudi, bisa dipastikan para pebisnis produk itu, akan akan ditinggalkan para konsumennya dan tergilas para pebisnis lain, yang notabene aktif mengikuti perkembangan zaman, tapi juga tetap fokus pada jalur bisnisnya.
Tak ingin mengalami kondisi ini, Zulasmi, pengrajin tas dengan jam terbang 17 tahun, dua tahun silam memutuskan untuk banting setir, ketika melihat bahwa bisnis tasnya tidak mengalami perkembangan. Ia berinisiatif untuk membuat tas bergambar foto diri sendiri, keluarga, kerabat, karib, atau hewan peliharaan yang dicomot dari kamera digital. “Ide ini muncul saat saya membaca koran. Dalam pikiran saya, kaus bergambar (bersablon, red.) itu biasa, demikian pula dengan tas bergambar atau bermotif. Tapi, jika gambar-gambar yang melekat pada tas tersebut merupakan foto pribadi, tentu itu pada padan yang unik,” kata Zul, sapaan akrabnya.
Namun, tidaklah mudah mewujudkan ide ini, mengingat modal yang harus ditanamkan terbilang besar yaitu Rp30 juta, yang digunakan untuk membeli mesin pres, komputer, printer, dan sebagainya. “Apalagi barangnya belum tahu mau dipasarkan ke mana. Karena, konsumen tidak menyambut dengan antusias. Maklum, harga produk saya mahal, hampir sama dengan harga tas bermerek, sedangkan konsumen saya adalah masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya. Tak pelak, dengan dua karyawannya, ia hanya mampu membuat empat sampai lima tas. “Itu pun susah pemasarannya,” tambah Zul, yang selama tiga bulan pertama produknya sama sekali tidak laku.
Enam bulan kemudian, ia mendapat partner yang mengajarinya untuk mengubah segmen konsumennya dari masyarakat menengah ke bawah menjadi masyarakat menengah ke atas. “Saya melihat partner saya menjual produk saya dengan harga Rp800 ribu, padahal saya cuma mematok harga Rp85 ribu. Lalu, saya menaikkan harga produk saya menjadi Rp125 ribu, dia tidak setuju. Lantas, kami putus hubungan kerja sama, tapi saya sudah mendapatkan ilmu dari dia tentang apa, siapa, di mana, dan bagaimana pasar produk saya,” jelas pria yang menyebut produknya dengan nama tas foto.
Dengan ilmu ini, kini ke-45 karyawannya rata-rata mampu membuat 100 tas foto/hari (= 3.000 tas foto/bulan, red.). “80% tas foto yang kami buat merupakan pesanan, terutama dari Batam, Manado, dan Jakarta. Dengan kata lain, 80% produk kami sudah jelas laku. Sedangkan sisanya untuk persediaan,” kata laki-laki yang setiap bulan mampu menjual sekitar 75 tas foto (angka ini di luar pesanan, red.) Untuk itu, per bulan, omset ratusan juta mampu diraupnya. Sekadar informasi, Zul menjual tas fotonya dengan harga Rp250 ribu hingga Rp400 ribu untuk tas yang sudah jadi dan RpRp300 ribu sampai Rp450 ribu untuk tas yang dipesan. “Perbedaan harga ini berkaitan dengan setting ulang untuk foto yang diberikan konsumen, sedangkan untuk dokumentasi foto yang kami miliki kan tinggal dicetak,” imbuhnya.
Untuk memesan tas foto, konsumen cukup memberikan atau mengirimkan dokumentasi foto pribadinya yang diambil dari kamera digital, dengan ukuran 3R hingga 5R. Sedangkan untuk jenis dan ukuran tas, tergantung dari keinginan konsumen. “Untuk model tasnya, konsumen juga silahkan memilih di sini tanpa charge, berbeda dengan pengrajin tas foto yang lain yang mengenakan charge untuk pemilihan model tas,” ucap Zul, yang dalam kondisi urgent mampu membuat tas ukuran standar dalam tempo tiga jam (normalnya satu minggu, red.). Di workshop-nya yang berlokasi di Palmerah, Jakarta Barat, Zul membuat tas berukuran 42 cm x 30 cm hingga yang seukuran travel bag (koper, red.). Di samping itu, dia juga memproduksi tas-tas foto dengan ukuran kecil, seperti dompet handphone, tas untuk menyimpan peralatan make up, dompet perempuan, dan lain-lain dengan harga dimulai dari Rp40 ribu.
Apa sih istimewanya? “Tas foto buatan saya menggunakan kain satin Korea yang cukup tebal. Para pesaing saya juga menggunakan jenis kain yang sama tetapi yang tipis. Padahal, harga jual produk mereka lebih mahal yaitu antara Rp600 ribu hingga Rp800 ribu. Selain itu, produk saya juga menggunakan kulit sapi asli dan tidak luntur atau pudar gambarnya bila dicuci,” katanya. Sekadar informasi, harga per meter kain satin Korea yang digunakan Zul sekitar Rp60 ribu. Setiap bulan, ia membutuhkan 1.500 meter atau senilai Rp90 juta.
Demikian yakin Zul dengan kualitas bahan baku produknya, sehingga ia tidak merasa terganggu sama sekali dengan kehadiran para pebisnis sejenis. “Kami ikut arus saja. Sebab, meski di pasar kemungkinan akan dijumpai dua produk yang sama dari dua pengrajin tas foto yang berbeda, tapi kualitas bahan baku produklah yang menentukan mana yang paling diminati konsumen,” ujar Zul, yang tidak menempelkan merek dagang pada produknya karena belum memiliki outlet.
Zul juga memberi garansi enam bulan kepada konsumennya, dalam arti, setiap kerusakan yang terjadi pada tas fotonya dapat diperbaiki tanpa charge. “Tapi, lewat enam bulan, setiap perbaikan ada biayanya. Misalnya untuk tali yang putus, biaya pemasangan kembali Rp50 ribu. Ganti gambar karena rusak atau bosan biayanya Rp75 ribu dengan ketentuan kondisi tas masih bagus, lalu jika tas tergores atau sobek tapi gambarnya masih bagus biayanya Rp125 ribu, dan bila bagian dalam tas yang sobek maka charge-nya Rp50 ribu,” jelas Zul yang berencana membuka gerai tahun depan, untuk memperluas penjualan. Bisnis ini mempunyai prospek yang menjanjikan, selama manusia masih masih hobi berfoto.
Usaha BatikUsaha Kecantikan
Tours and travel terus menggurita
Franchise fee back guarantee
Jual kue untuk yang berduit
Source : majalahpengusaha.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar