Senin, 13 April 2009

Bisnis Sop Buntut

Dapur Buntut, Bukti Berbisnis Tak Perlu Takut bisnis sop buntut
Tak paham bisnis sama sekali, Irma nekad pensiun dini untuk menggeluti bisnis kuliner sop buntut. Kini pelanggannya mencapai 70-80 orang per hari. Bagaimana kiatnya?Wiyono

Beragam jawaban bakal diperoleh saat orang-orang yang berstatus karyawan ditanyai soal pekerjaan mereka. Tetapi biasanya akan ada satu yang seragam, hampir bisa dipastikan pada ujung kalimat mereka terselip nada keluhan atau ketidakpuasan. Entah soal besar gaji, rutinitas menjemukan, lingkungan kerja kurang nyaman, atau malah mempersoalkan sifat teman kerja atau pimpinan mereka masing-masing. Karenanya, Irma Trisnayanti yakin jika obsesi setiap karyawan adalah memiliki bisnis sendiri. Maka setelah hampir selama 12 tahun berseragam kantor tekadnya bulat, pensiun dini dan mengelola restoran Dapur Buntut.

“Restoran ini sebenarnya obsesi suami saya,” Irma bercerita. Suaminya, Indra Riana, adalah seorang konsultan keuangan, sementara dia sendiri pada awalnya memegang jabatan general affairs dan HRD pada perusahaan pasar modal. Kebetulan mereka memiliki hobi makan, terutama sop buntut, plus hobi jalan-jalan, dan bahkan tracking. Setiap kali ada waktu luang, terutama Sabtu dan Minggu, keduanya sering mencari tempat makan sop buntut yang terkenal enak.

Dan sebelum mulai buka restoran sendiri, pasangan ini sempat berkeliling Jawa dan Bali mencobai setiap restoran yang menyediakan menu sop buntut satu per satu. Selain itu, sejak awal Indra pun kerap mencoba resep sop buntut buatannya pada setiap acara-acara keluarga atau mengundang makan teman-temannya Jadi, dari hobi makan hingga mencoba resep sendiri.
bisnis makanan sop buntutBegitu merasa mantap, dengan menyewa secuil lahan berukuran sekitar 2,5 meter x 8 meter di bilangan Kampung Melayu Besar, Jakarta Timur, berdirilah Dapur Buntut. Istimewanya, meski menu utamanya bernama sop buntut, namun sedikit berbeda dengan menu sop buntut biasa di tempat-tempat lain. Artinya, sedari awal mereka berniat menyajikan sop buntut yang sudah didandani atau divariasikan. Di samping terdapat sop buntut biasa dan sop buntut goreng yang sudah umum, ada pula sop buntut rawon, sop buntut barbeque atau sop buntut panggang, sop buntut karamel, serta sop buntut tulang lunak. Bila ditengok lebih jauh, kuah sop yang disajikan pun tidak bening atau berlemak tebal, melainkan berwarna kecoklatan. Pasalnya setelah buntut sapi direbus selama 4 jam, air kuah tersebut direbus ulang dua atau tiga kali hingga menjadi sari kaldu yang gurih namun rendah kolestrol. “Sop buntut ini berbeda, benar-benar kreasi suamiku. Takaran resep, bahan, dia yang bikin, saya yang olah,” ujarnya.

Menurut Irma, variasi menu sop buntut di tempat itu masing-masing memiliki cerita sendiri-sendiri. Umpamanya, seperti dituturkan, wanita kelahiran Agustus 1971 itu kebetulan juga suka barbeque sehingga terpikir ada sop dengan daging buntut sapi yang dipanggang bersama bumbu barbeque, terciptalah sop buntut panggang. Ide sop buntut karamel yang sedikit manis pedas dengan taburan lada hitam ditambah gurihnya bawang putih, muncul ketika dia membaca resep masakan bumbu karamel. Demikian pula sop buntut tulang lunak, pada awalnya karena setiap kali menikmati sop buntut, mereka suka menggerogoti tulang-tulangnya.


Kalimat tak kenal maka tak sayang, benar adanya. Meski lokasi yang dipilih cukup ramai, namun Irma mengaku, kurang lebih hingga setengah tahun pertama kedai buntut dengan modal investasi Rp40 juta-Rp50 juta itu belum banyak dilirik pembeli. Maka, di samping pemasaran lewat mulut ke mulut, mereka juga berpromosi melalui brosur, via internet, dan media massa. Ternyata cukup berhasil, dari semula 10 kg daging buntut baru habis sebulan, kini sebanyak 20 kg bisa ludes dalam sehari. Terlebih bila menjelang waktu akhir pekan atau ketika para anggota klub otomotif sedang kumpul. Ruangan yang semula hanya muat 5 meja atau 20 kursi, juga sudah diperluas, menampung 9 buah meja. “Akhir 2006 kita bikin menu iga panggang dan saya pikir tempatnya perlu diperluas,” tuturnya.

Tingginya bahan baku, disebutkan, merupakan salah satu masalah yang dialami. Maklum, di pasaran harga daging buntut menempati kelas premium serta terus membubung. Kalau pada awal buka baru berkisar Rp28.000-Rp30.000 sekarang di atas Rp50.000. Jadi, meskipun menyadari pembeli berasal dari kalangan masyarakat yang beragam, tidak mungkin lagi menekan harga jual sop buntut yang berkisar Rp 20.000-Rp 22.500/porsi. Sejak 2006 Irma mengembangkan menu iga panggang bumbu barbekyu dan bikin burger. Maksudnya agar dengan menu yang makin bervariasi, tempat makan yang disebut-sebut berkonsep warung tetapi menerapkan open kitchen itu bisa mengikuti trend pasar yang makin berkembang, alias menjangkau semua kalangan. Dengan demikian pilihan yang tersedia mulai dari low price (menu burger), middle price (sop buntut), premium price (iga panggang). “Tahun 2007 kemarin kita juga keluarin produk baru lagi, sirloin steak, tenderloin steak,” tambahnya.


Permasalahan lain seputar pengadaan bahan baku yakni kendala konsistensi pasokan daging iga dan buntut sapi. Pada awal-awal buka dia mesti berbelanja sendiri ke pasar. Hal itu segera teratasi ketika seiring waktu supplier berdatangkan menawarkan barang. “Soal supplier saya bukan fanatik, tetapi soal cocok-cocokan saja, dan kalau dikasih tiga kali kesempatan tidak ada perubahan mendingan dilepas. Heran saya, setiap menjelang hari-hari raya selalu tidak ada barang. Padahal supplier saya dipilih yang benar-benar memiliki usaha peternakan sendiri, sehingga mestinya bisa jaga stok,” keluh Irma.

Selain kedua hal di atas, bagi Irma praktis tidak ada kesulitan lain cukup berarti. Seperti misalnya, pada saat dijumpai beberapa produk sayuran beku untuk steak ternyata dalam kondisi mengecewakan, ia segera putuskan mengganti dengan produk buatan sendiri yang lebih terjamin dan bahkan lebih murah. Demikian pula dengan saus berikut mayones, ternyata semua bikinan sendiri dari resep hasil kreasi tangan Indra pula.


Walaupun Irma enggan menyebutkan angka pasti jumlah omset yang diperolehnya, namun restoran yang setiap hari rata-rata dikunjungi 70-80 orang ini, sejak dua tahun awal beroperasi boleh dibilang berhasil merebut hati pelanggan. Padahal sebelum mulai ia mengaku sama sekali awam soal dunia bisnis. “Setahun pertama saya banyak belajar. Termasuk cara mengolah dan penyajian yang baik,” akunya, bahkan sampai sekarang, dikatakan, agar tetap improve dia dan Indra pun masih kerap berburu jajanan enak di tempat-tempat lain sekadar mencari perbandingan.

Kiat-Kiat Irma Menjalankan Usaha:
- Karena hobi makan, jenis usaha dipilih yang berhubungan erat dengan hobi, yakni restoran.
- Melakukan persiapan cukup, termasuk taste intelligent seluruh restoran sop buntut terkenal
se-Jawa dan Bali.
- Biar sederhana tetapi dikemas baik dan menarik, seperti warung dengan konsep open kitchen.
- Berani membuat inovasi yang mungkin tidak sesuai pakem, seperti membuat sop buntut karamel.
- Melihat kemampuan diri dalam penetrasi pasar, jika perlu dengan diversifikasi produk seperti
burger, barbeque, dan steak.
- Tidak berpuas diri, melainkan terus-menerus melakukan upaya perbaikan dengan tidak segan
melakukan perbandingan.

Investasi Batu Bara
Source : majalahpengusaha.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...